Hatta
hanyalah salah satu sampel yang kita ketengahkan dari sekian pemimpin besar
yang berada di etalase sejarah bangsa dan dunia ini. Menelusuri jalan hidup mereka kita seperti
dipertemukan dengan mata rantai yang tidak pernah putus-putus walaupun hidup di
zaman dan tempat yang berbeda, dan mata rantai itu adalah dunia literasi.
Membaca
bagi para pemimpin besar atau penerusnya telah menjadi bagian dari defenisi hidup
mereka, sehingga tidaklah kita bisa berlepas diri membicarakan mereka tanpa
membicarakan kebiasaan yang satu ini. Kesibukan hari-hari mereka dengan ragam
aktivitas sama sekali tidak kuasa menghalangi dari membuka lembaran-lembaran
buku, bahkan sebaliknya dengan bukulah mereka memaknai hari-hari tersebut. Dan
di sinilah bermetamorfosanya ungkapan kebiasaan membaca menjadi kebutuhan
membaca.
Saya
tidak ingin dulu mengalihkan pembicaraan pada toleransi makna membaca para
pemimpin. Bahwa katanya pemimpin juga harus membaca situasi jalan pikiran dan
keinginan masyarakatnya, membaca pergolakan politik yang berobah sebanyak waktu
yang kita miliki, dan membaca-membaca lainnya yang sebenarnya mereduksi makna
dari membaca buku itu sendiri.
Seluruh
peradaban besar yang pernah tegak di muka bumi ini selalu melek dengan dunia
literasi. Ia menginternalisasi di setiap jiwa yang hidup di sana, tumbuh di
jiwa anak-anak yang bermain-main dengan buku, merasuk di jiwa remaja yang
mengkundang buku ke mana-mana, dan menetap di jiwa-jiwa pendidik, orang tua,
dan para pemimpinnya.
Alangkah
berdukanya kita bila ditakdirkan mempunyai pemimpin yang jarang matanya menatap
lembaran-lembaran buku, mulutnya kaku mengeja huruf, serta asing tangannya
mengepit buku-buku. Dengarlah kata-katanya begitu kasar, tingkahnya begitu
pongah, karena sebenarnya ia bukanlah pemimpin, namun algojo peradaban yang
menjagal kearifan untuk tumbuh dan berkembang.
Sedangkan
untuk Indonesia kita hari ini tampaknya pekikan Taufik Ismail lewat Kupu-kupu di Dalam Buku-nya masih harus
diteruskan. Sebab di bis kota, angkutan umum, apalagi di angkutan pribadi tidur
dan ngobrol masih menempati rating teratas di hati mereka ketimbang
membuka dan membaca buku. Dan selama buku masih asing dalam keseharian bangsa ini,
maka selama itu pulalah pemimpin besar masih jauh dari jangkauan kita.
“Saya
selalu membayangkan surga itu seperti perpustakaan,” pungkas Jorge Luis Borge
penyair asal Argentina.