Kamis, 05 September 2013

A Leader is a Reader

Sepulang dari Rotterdam Belanda pada tahun 1932  Mohammad Hatta mengepaki buku-bukunya ke dalam 16 buah peti, sedangkan pakaiannya hanya tersimpan di satu-satunya peti. Dan buku-buku itu jualah yang menemaninya ke Boven Digul dan berbagai tempat pembuangan lainnya di masa-masa perjuangan kemerdekaan Republik tercinta ini.
Hatta hanyalah salah satu sampel yang kita ketengahkan dari sekian pemimpin besar yang berada di etalase sejarah bangsa dan dunia ini.  Menelusuri jalan hidup mereka kita seperti dipertemukan dengan mata rantai yang tidak pernah putus-putus walaupun hidup di zaman dan tempat yang berbeda, dan mata rantai itu adalah dunia literasi.
Membaca bagi para pemimpin besar atau penerusnya telah menjadi bagian dari defenisi hidup mereka, sehingga tidaklah kita bisa berlepas diri membicarakan mereka tanpa membicarakan kebiasaan yang satu ini. Kesibukan hari-hari mereka dengan ragam aktivitas sama sekali tidak kuasa menghalangi dari membuka lembaran-lembaran buku, bahkan sebaliknya dengan bukulah mereka memaknai hari-hari tersebut. Dan di sinilah bermetamorfosanya ungkapan kebiasaan membaca menjadi kebutuhan membaca.
Saya tidak ingin dulu mengalihkan pembicaraan pada toleransi makna membaca para pemimpin. Bahwa katanya pemimpin juga harus membaca situasi jalan pikiran dan keinginan masyarakatnya, membaca pergolakan politik yang berobah sebanyak waktu yang kita miliki, dan membaca-membaca lainnya yang sebenarnya mereduksi makna dari membaca buku itu sendiri.
Seluruh peradaban besar yang pernah tegak di muka bumi ini selalu melek dengan dunia literasi. Ia menginternalisasi di setiap jiwa yang hidup di sana, tumbuh di jiwa anak-anak yang bermain-main dengan buku, merasuk di jiwa remaja yang mengkundang buku ke mana-mana, dan menetap di jiwa-jiwa pendidik, orang tua, dan para pemimpinnya.
Alangkah berdukanya kita bila ditakdirkan mempunyai pemimpin yang jarang matanya menatap lembaran-lembaran buku, mulutnya kaku mengeja huruf, serta asing tangannya mengepit buku-buku. Dengarlah kata-katanya begitu kasar, tingkahnya begitu pongah, karena sebenarnya ia bukanlah pemimpin, namun algojo peradaban yang menjagal kearifan untuk tumbuh dan berkembang.
Sedangkan untuk Indonesia kita hari ini tampaknya pekikan Taufik Ismail lewat Kupu-kupu di Dalam Buku-nya masih harus diteruskan. Sebab di bis kota, angkutan umum, apalagi di angkutan pribadi tidur dan ngobrol masih menempati rating teratas di hati mereka ketimbang membuka dan membaca buku. Dan selama buku masih asing dalam keseharian bangsa ini, maka selama itu pulalah pemimpin besar masih jauh dari jangkauan kita.
“Saya selalu membayangkan surga itu seperti perpustakaan,” pungkas Jorge Luis Borge penyair asal Argentina.